Surat Terbuka dari Cak Nun Soal Pertanahan di Yogyakarta

Tuntutan oknum agar masyarakat keturunan Tionghoa bisa memiliki hak atas tanah (SHAM) di Yogyakarta, tak luput dari perhatian budayawan Emha Ainun Nadjib yang akrab disapa Cak Nun. Ia menilai tuntutan oknum tersebut selain tidak memahami sejarah, juga sudah sangat berlebihan.

Dalam dialog dengan masyarakat Yogyakarta bertajuk “Merawat Sejarah Keistimewaan Jogja untuk Kedaulatan NKRI” di Ndalem Notoprajan Ngampilan, Kota Yogyakarta, Kamis (1/3/2018) malam, cak Nun memberikan surat terbuka.

Berikut ini isi lengkapnya:

Merawat Sejarah Keistimewaan Yogya Untuk Kedaulatan NKRI(Jangan Lukai Hati Ibunda)

Saudara-saudara saya Cina di seluruh dunia, di sini maupun di sana, para pengurus NKRI. Mohon berkenan menerima cinta dan peneguhan paugeran hidup untuk saling mengamankan di antara kita sebagai sesama makhluk ciptaan Tuhan. Mitsaqan Ghalidla mendasar untuk saling melindungi nyawa, harga diri dan harta benda di antara kita, yang–sebagai Muslim–saya menyebutnya sebagai perjanjian keIslaman, yang dijamin oleh kepemimpinan Sayidin Panatagama. Manusia tidak punya alat dan kemampuan untuk mengenali Tuhan dengan sifat-sifat dan kehendak-Nya. Satu-satunya sumber untuk mengenali Tuhan hanyalah kalau Tuhan sendiri memperkenalkan diri-Nya kepada manusia. Itu yang disebut Agama. Dan hanya dengan meguru kepada informasi, ilmu, pengetahuan dan kebijaksaan Agama itulah: maka Pancasila menjadi bukan omong kosong, bukan khayal atau jargon kekuasaan. Kalau saya anti-Cina, anti-Barat atau anti makhluk apapun, termasuk Setan dan Iblis–berarti saya durhaka kepada Tuhan dan melanggar Agama saya. Bahkan kalau saya anti tlethong Sapi atau uwuh dan larahan, saya melecehkan Maha Sangkan Paran kita semua. Iblis dan tlethong Sapi ada atas rencana dan perkenan Tuhan. Kita berkewajiban menyikapi dan mengelolanya berdasarkan tuntunan Penciptanya.

Saya hadir dalam pertemuan malam ini untuk turut menjamin bahwa di antara kita semua di Yogya, Indonesia dan seluruh Bumi, tidak ada ancaman terhadap nyawa, martabat dan harta benda. Tidak ada penggerogotan, tidak ada tipu daya untuk nafsu kepemilikan, tidak ada arus Adigang Adigung Adiguna yang di-package dengan bungkus jargon-jargon indah, yang di-branding dengan idiom anti-diskriminasi, anti-rasisme dan apapun, yang dimanipulasi untuk mencapai ambisi penguasaan dan kepemilikan tanpa ukuran. Yogya adalah Senopati ing Ngaloga bagi seluruh Indonesia. Yogya adalah pemimpin untuk melawan segala jenis perusakan atas bebrayan dan paugeran, segala bentuk kerakusan dan keserakahan, yang kasar maupun halus, yang terang-terangan maupun disamarkan. Yogya menjaga pintu rumah Empu Gandring, mengamankan proses agar Keris Demokrasi, Keris Pancasila, Keris Kemanusiaan yang adil dan beradab, Keris Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia–tidak diambil paksa dan dipergunakan untuk membunuh. Keris bukanlah senjata tajam. Keris adalah aji, junjung drajat dan fadhilah sulthaniyah kematangan dan kasepuhan manusia. Pertemuan malam ini adalah Pisowanan Aji untuk bersama-sama menjaga tidak ada penjarahan atas keadilan bagi rakyat kecil, baik yang fisik langsung maupun melalui kelicikan wacana, rekayasa politik, manipulasi literasi dan penyempitan intelektualitas hukum. Kewajiban mengutamakan rakyat kecil itulah yang menjadi sumber kearifan Swargi Kaping Sanga bersabda mengatur patrap tanah dengan ukuran-ukuran perlindungan yang istimewa. Keistimewaan Yogya bukanlah previlese tak terbatas, melainkan sejumlah kekhususan yang terukur. Keraton Ngayogyakarta memastikan teguhnya Kemerdekaan RI di awal kelahirannya. Kemudian Ngarsodalem IX bersedekah luar biasa banyak, baik sedekah kedaulatan maupun harta benda, sehingga menjamin keberlangsungan Pemerintahan NKRI dua tahun pertama. Ngayogyakarta adalah Ibu yang menyusui bayi Indonesia. Nyuwun sewu, please jangan lukai hati Ibundamu. Kalau hati ibu terluka, anak akan celaka. Kalau Indonesia menyakiti hati Ibu yang ia menyusu kepadanya ketika bayi, ia akan terjungkal di lubang ranjau masa depan. Kalau yang disusui itu ternyata bayi macan, hendaknya si bayi nyinaoni apakah Ibu yang menyusuinya itu bukan mbahnya macan. Apakah Yogya adalah bekicot-bekicot atau keong-keong yang di-kancil-i oleh Indonesia, ataukah ternyata Dinosaurus yang disangka sudah musnah. Apakah kawula Yogya sekarang adalah sapi-sapi sembelihan, ataukah mereka adalah semut-semut yang masih nggremet di bawah tanah yang dipijak oleh sepatu-sepatu Konglomerat. Takhayulkah itu Mbah Petruk, Kiai Gringsing, Syekh Djumadil Qubro, terutama Paseban Kasepuhan segala zaman? Apakah dunia menyangka bahwa penduduk Yogya hanyalah yang terdaftar di Lembaga Sensus? Bahkan, di ambang kehancurannya, NKRI perlu “meguru kepemimpinan” kepada Yogya. Sebab pemimpin Indonesia harus berkaliber dunia, dengan kelengkapan, keluasan dan kedalaman kenegarawanan kelas dunia yang “Mangkubuwono”.

Saudara-saudaraku Cina, para pengurus NKRI dan siapapun saja, perkenankan saya ikut menawarkan kawicaksanan dan karamah (saling bermurah hati untuk penyeimbangan antara kelemahan dan kekuatan) untuk menempuh masa depan bersama. Ngarso Dalem IX pada hakikatnya tidak perlu mensabdakan aturan tentang tanah itu, andaikan beliau merasakan bahwa semua penduduk Yogya dan Indonesia sudah berada di dalam kawicaksanan itu. Tetapi karena beliau merasakan bahwa arus utama yang berlangsung adalah keserakahan atas nama hak asasi (yang ahistoris secara sangkan paran), nafsu kepemilikan tak terbatas dengan mengatur butir-butiran hukum, yang akan menjadi ancaman besar terhadap goal Pancasila yakni Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia–maka dharurah bis-syaukah Ngarso Dalem IX “menegakkan pagar” itu. Hukum sangat penting dan diperlukan oleh manusia untuk memagari dirinya sendiri. Tetapi di atas Hukum ada Nalar, di atas Nalar ada Akhlaq, di atas Akhlaq ada Hikmah atau kawicaksanan, di atas Hikmah ada Nurani dan Kasih Sayang. Itulah Rahmatan Lil’alamin, yang akhir-akhir ini sangat didengung-dengungkan oleh semua aktivis NKRI.

Saudara-saudara saya Cina dan siapapun saja penduduk Yogya, Indonesia dan Bumi. Sebentar lagi, besok atau lusa, para adikuasa Negara Dunia Kesatu seperti Amerika Serikat dan sejumlah Negara Eropa, akan melorot menjadi Negara Dunia Kedua. Afrika dan Amerika Latin akan tetap berada sebagai Negara Dunia Ketiga. Tetapi Negara-negara di Asia Pasifik akan naik derajat menjadi Negara Dunia Kesatu dengan kepemimpinan RRC. Indonesia akan menjadi bagian dari Pusat Kemajuan Ekonomi Dunia. Hari ini saudara-saudaraku Cina sudah merupakan penguasa keuangan dan perekonomian NKRI. Sudah merupakan “mayoritas” yang berkuasa hampir di semua lini, segmen dan strata. Saudara-saudaraku Cina punya kemampuan untuk membeli Keraton Ngayogyakartahadiningrat. Membeli seluruh Yogya, DIY, Indonesia bahkan tidak sukar melangkah ke suatu hari di mana saudara-saudaraku Cina membeli Bumi ini seluruhnya dengan semua isinya. Sekarang Panjenengan semua sudah membeli dan menguasai tanah-tanah primer, membeli dan menguasai Kelas Menengah, orang-orang pandai, pakar-pakar, bahkan sudah bergulir untuk juga menguasai orang-orang alim saleh. Panjenengan semua sudah membuktikan diri sangat mampu menguasai sangat banyak Institusi Negara dan Pemerintah, Orsospol dan Ormas, golongan-golongan dan kumpulan-kumpulan. Panjenengan sudah mendirikan dengan sangat kokoh Kerajaan-kerajaan Keuangan, Keraton-keraton Perekonomian. Bahkan mekanisme sistem sosial dan Negara, warna kebudayaan, tampilan-tampilan layar zaman, sejumlah pola berpikir dan ideologi khalayak, pelan-pelan sudah ada di genggaman tangan Panjenengan. Panjenengan semua sudah mengalami betapa murah hatinya rakyat dan bangsa Indonesia, sejak berabad-abad silam. Mohon jangan sakiti hati mereka dengan ucapan-ucapan seperti Rasisme, Diskriminasi, Hak Asasi Manusia, yang ditransfer dari kaum penjajah di belahan bumi sana, yang penjajahannya tidak berakhir pada 17 Agustus 1945, melainkan justru semakin canggih dan tersamar melalui empat evolusi dan revolusi kolonialisme yang kini sudah masuk ke bilik-bilik pribadi setiap penduduk, bahkan sampai ke toilet dan jumbleng. Bahkan Panjenengan sudah berhasil innahum yakiduna kaida cukup dengan talbis sarung, peci, surban dan setumpukan uang. Tahap berikutnya Panjenengan akan bisa menjadi Nabi. Kemudian menjadi Nabi yang dimalaikatkan. Dan puncaknya nanti Panjenengan akan jumeneng Allah subhanahu wata’ala, yang mengatur seluruh kehidupan, dari konglomerasi hingga setiap helai daun dan tetesan embun.

Bagi saya seorang Muslim, sambil tak akan pernah berhenti mempersaudarakan diri saya dengan Panjenengan dan siapapun saja makhluk Allah, saya menyaksikan kekuasaan Panjenengan akan mampu menciptakan arus sehingga banyak orang membasa-basikan Syahadat, Shalat, Puasa, Zakat dan Haji. Panjengengan bisa men-talbis-i Malaikat, Kitab, Nabi atau pemahaman Akhirat. Akan tetapi Panjenengan tidak akan mungkin berkuasa atas Qadla dan Qadar. Tak seorang pun di antara Panjenengan, saya dan kita semua yang tahu persis apa yang akan terjadi satu menit yang akan datang. Jauh lebih banyak dari kehidupan ini yang tidak kita ketahui dibanding sangat sedikit yang kita ketahui–meskipun dalam posisi amat sangat berkuasa seperti Temuchin, Hulagu Khan, Fira’un, Alaksander Agung, Hitler atau Recèp Thayeb. Oleh karena itu yang saya tawarkan, juga insyallah seluruh kawula Ngayogyakarta haturkan, adalah bergandengan tangan bersama menempuh masa depan, berbekal kawicaksanaan, bisa rumangsa dan saling Islam atau menyelamatkan satu sama lain. Mohon satu sama lain jangan dikei ati ngrogoh rempelo, dimanggakke gawe omah ojo njur arep nglethak sirah. Kita berjuang bersama agar kalimat sakral Sadumuk Bathuk Senyari Bumi tetap tersimpan di lubuk hati saja.

Salamun qaulan min Rabbir Rahim, Muhammad Ainun Nadjib, Yogya, Kadipiro, 1 Maret 2018


0 Comments

Leave a Reply

Avatar placeholder

Your email address will not be published. Required fields are marked *